by Munir *** (Admin)
Minggu lalu; akhir Oktober 2018, Komisi VI DPR RI rapat bersama Kemeneg BUMN. Agendanya evaluasi pelaksanaan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Lima menit sebelum rapat, mas Primus terburu-buru keluar menghampiri saya. “Nir, kita ke pojok sebelah. Kita ada masalah ga dengan PKBL di Dapil?” begitu tanya mas Primus. Saya jawab, “sebentar mas, saya telepon kang Ayi atau staf di Dapil dulu.”
Saya pun bergegas menelepon semua staf mas Primus yang bertuas menangani PKBL. Termasuk kang Ayi. Dan ternyata, ada masalah dengan realisasi PKBL di beberapa tempat di kabupaten Bogor. Ada beberapa BUMN yang realisasi PKBL di Dapil mas Primus tak difinalisasi.
Dari informasi itu, mas Primus minta saya narasikan. “Kamu tulis tangan nir data-datanya,” begitu instruksi mas Primus. Saya pun melakukannya dengan sedikit kagok. Sebanyak satu halaman saya catat informasi tentang bersoalan-persoalan PKBL di Dapil mas Primus (Kabupaten Bogor). Dan catatan itu saya serahkan padanya saat ia hendak ke ruang rapat. Rapatnya tertutup untuk umum.
Karena rapat tertutup, sayapun tidak di balkon, sebagaimana biasanya para staf duduk menyimak perjalanan rapat. Tapi saat itu, ketika saya mengantarkan data-data realisasi ke dalam ruang rapat untuk mas Primus, saat yang sama, ia dapat giliran bicara.
Apa yang terjadi, mas Primus begitu marah dengan BUMN yang gagal merealisasikan PKBL di Dapilnya. “Anda ini bagaimana? Sudah survei ke konstituen saya, sudah bicara angka bantuan, tapi disaat akan finalisasi, anda batal sepihak. Apakah anda tahu risikonya buat saya? Saya bisa dianggap berbohong oleh konstituen saya akibat kelakukan anda. Saya minta, anda secepatnya merealisasikan PKBL di daerah yang pernah mengajukan”
Mas Primus bicara begitu, sambil tulunjuknya menuding-nuding BUMN terkait. Saya juga kaget, begitu lantang mas Primus memprotes BUMN tersebut. Dan pada akhirnya, BUMN tersebut meminta maaf kepada mas Primus dan berjanji akan merealisasikan PKBL yang tertunda di salah satu desa di Kabupaten Bogor.
****
Menurut saya, yang dilakukan mas Primus itu top. Dua jempol untuknya. Begitulah tugas DPR. Parlemen itu tugasnya omong. Bicara ! Sesuai asal kata, parlemen itu berasal dari kata “parler,” dalam bahasa Prancis yang artinya “untuk bicara.” Dengan demikian, berbicara adalah diskresi seorang anggota DPR. Dalam UU di Indonesia, khususnya UU MD3, DPR memiliki imunitas dalam berbicara, khususnya terkait fungsi pengawasan. Pembicaraan DPR dalam mengeritik mitranya tentang suatu persoalan kinerja pemerintah, tak dapat dipidanakan.
Jadi mas Primus itu punya diskresi untuk berbicara; mengawal program-program aspirasi untuk konstituennya. Ia menggunakan haknya yang diakomodir oleh UU. Ia punya kwajiban untuk mengawasi, bila mana ada program-program yang tidak dilaksanakan dengan baik oleh mitra DPR (pemerintah/BUMN). Dia di Senayan untuk bicara, sebagaimana tugas pokok seorang parlemen (parler).
Jadi waktu itu, saya anggap mas Primus sudah on the track saat protes keras pada BUMN yang batal merealisasikan program PKBL disalah satu Dapilnya. Wajar mas Primus berang pada BUMN dimaksud, sampai memukul meja. Tentu semua itu demi memperjuangkan aspirasi konstituennya. Beegitulah sepenggal kisah, bagaimana ngototnya mas Primus memperjuangkan aspirasi konstituennya di DPR. *** Selamat berakhir pecan
untuk abang semangat ya…klo bkan karna abang siapa lg bela kami seorang rakyat kecil…yg tidak punya panutan hidup….tolong bang jaga dan bina kami…ayomi kami…biar kami mencapai sebai raktak negara..dan kami minta tolong agar miskin kami dan lapar kami dan bodoh kami…tidak di hina…oleh orang orang kolong merat berengsek itu….dzn agar kami tidak menjadi korbanya…kaminta doa selalu menyertai kami….
Terima kasih…